MENGOPTIMALKAN PERAN ZAKAT

Tata Ulang Lembaga Zakat

Potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 9,1 triliun per tahun. Tetapi yang berhasil dihimpun tak sampai 1 trilliun. Mengarah pada revisi UU Pengelolaan Zakat. Campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk bisa merealisasikan perolehan zakat yang monumental.

Badan Amil Zakat, Infak, dan Sedekah (BAZIS) adalah lembaga resmi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Selain BAZIS yang ‘berplat merah’, Undang-Undang tetap mengakomodir kehadiran lembaga amil zakat yang dikelola swasta. Seyogianya, kedua lembaga ini bergandengan tangan mengoptimalkan pendapatan zakat untuk disalurkan kepada kaum fakir miskin.

Sayang, setelah delapan tahun lebih wet itu berlaku, pengelolaan zakat belum optimal dilakukan. Antara potensi dan realisasi penerimaan zakat masih njomplang. Tengok saja data yang disodorkan Hamy Wahjunianto, Ketua Umum Forum Zakat (FoZ). Mengutip penelitian PIRAC pada 2007, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp9,1 triliun. Kalkulasi Foz dua tahun sebelumnya malah mencapai Rp17,5 triliun. Perkiraan tertinggi datang dari kajian Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada 2004, yakni mencapai Rp19,3 triliun. Itu baru angka potensial.

Realisasinya? Jauh panggang dari api. Zakat yang berhasil dihimpun pada tahun 2000 hanya Rp41,6 miliar. Hingga 2003, jumlahnya tetap bergerak di bawah seratus miliar rupiah. Barulah Pada 2004, angka peroleh zakat naik menjadi Rp148,8 miliar. Malah pada 2006 sudah mencapai Rp382,5 miliar. Pada rilis Milad ke-8 Baznas membukukan angka perolehan sebesar RP 930 milliar .Angka ini mengalami perolehan yang signifikan ditahun sebelumnya sebesar Rp 770 milliar. Satu hal yang membahagiakan adalah angka perolehan zakat terus mengalami kenaikan. Ketimpangan antara potensi dan realisasi zakat disebabkan banyak hal, salah satunya menyangkut regulasi. “Regulasi zakat yang ada belum memberikan stimulan yang cukup memadai terhadap penuaian zakat,” ujarnya dalam seminar “Pengelolaan Zakat oleh Negara Pada Era Partisipasi Masyarakat”, akhir bulan lalu.

Secara kelembagaan, lembaga pengumpul zakat bentukan Pemerintah, BAZIS, masih memiliki kelemahan. Lembaga amil bentukan swasta pun belum bersinergi dengan baik. Karena itu, penataan kelembagaan zakat merupakan keniscayaan. “Penataan lembaga zakat perlu dilakukan agar perkembangan lembaga zakat tidak stagnan atau jalan di tempat dalam situasi dimana harapan ummat begitu tinggi kepada lembaga zakat,” kata Nasrun Haroen.

Direktur Pemberdayaan Zakat Departemen Agama ini melihat penataan lembaga zakat harus dilakukan dalam dua skala berbeda tapi saling berkaitan. Pertama, menata bagian-bagian yang dapat dilakukan sendiri oleh lembaga zakat, yaitu hal-hal yang bersifat mikro dan teknis. Kedua, hal-hal yang bersifat fundamental dan makro. Pemerintah memiliki kewenangan pada tingkat makro dan fundamental. Namun, Nasrun menepis anggapan campur tangan negara dalam penataan tingkat makro dan fundamental bermaksud mengurangi partisipasi masyarakat dalam mengelola zakat. Pemerintah, kata dia, hanya ingin sistem pengelolaan zakat di tingkat nasional dan daerah bisa terwujud dengan baik.

Keinginan Pemerintah melembagakan pungutan zakat di satu badan khusus, seperti BAZIS, dinilai Rahmat Riyadi sebagai pengecilan arti dari sebuah lembaga besar. Wali Amanah Dompet Dhuafa ini justru memandang sentralisasi lembaga zakat sebagai salah satu titik lemah pelaksanaan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999. Apalagi kalau badan pengumpul zakat tidak menerapkan prinsip-prinsip transparansi dari sisi keuangan dan profesionalisme. Menurut dia, kelembagaan zakat yang ideal adalah lembaga khusus yang mampu membangun sistem database dan manajemen informasi zakat yang efektif. Para pengelolanya pun harus profesional dan ahli di bidangnya. Selain itu, lembaga yang menjalankan fungsi pengumpulan zakat harus kredibel.

Untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat ke depan, Rahmat Riyadi mengusulkan tiga hal. Pertama, pemisahan yang jelas antara fungsi regulator, pengawas, dan operator. Kedua, lembaga dan badan amil zakat didorong untuk bersinergi, sehingga akan terbentuk dua atau tiga organisasi saja. Ketiga, pengelolaan zakat berbasis komunitas merupakan salah satu alternatif untuk menyederhanakan organisasi dengan rentang kendali yang luas.

Gagasan penataan ulang lembaga zakat, bagaimanapun, mengarah pada revisi UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.(ser/hoc) hukumonline.com 28/09/08

Tidak ada komentar: