PENANTIAN RAMADHAN



Dia menyimpan pesan dan kesan yang begitu agung di dalam hati dan kehidupan kita. Taruhlah dia adalah ibu kita yang selama ini mengurus, membesarkan, mendidik, merawat, sampai membiayai kehidupan kita. Tentu sikap arif yang akan keluar dari kita ialah setidaknya membalas dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas semua jasa dan pengorbanan yang telah dia berikan.

Rasa cemas, gundah, dan rindu bercampur menjadi satu ketika suatu hari kita merindukan kehadirannya di sisi kita dan membelaikan kecintaannya kepada kita dengan sepenuh hati. Terpukul rasanya hati ini ketika suatu hari kita jauh darinya dan mendapatkan kabar bahwa dia yang selama ini kita cintai dan selama ini mencintai kita meninggal selama-lamanya dan tidak akan kembali lagi.

Mungkin itulah analogi sederhana yang ingin saya katakan menyoal peran dan kedudukan ramadhan bagi kehidupan seorang muslim. Tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa ramadhan adalah ibu kita yang selama ini menyimpan kesan dan peran begitu besar bagi kehidupan kita, terutama bagi kehidupan ruhiyyah seorang muslim. Perannya sebagai salah satu sumber pahala tidak diragukan lagi. Banyak sekali lipatan-lipatan pahala yang akan kita dapatkan darinya dan bukan hanya lipatan saja, kita pun akan mendapatkan gumpalan pahala yang begitu besar, yaitu lailatul qadar.

Tidak salah jika kemudian dengan status dan perannya yang begitu agung, kita merasakan ada sebuah kerinduan yang mendalam untuk bisa berjumpa kembali dengannya, bisa kembali bergaul dengan sentuhan-sentuhan nilai keagungan dan nilai tarbiyahnya, mampu menyerap pesan-pesan yang ia sampaikan lewat shaum, shalat Tarawih, tilawah Al-Qur'an, infak, dan lain-lain.

Ketika dia akan datang bertamu ke rumah kita, tentunya kita pun senang tiada taranya dan akan menyiapkan segala sesuatu, sehingga dia merasa nyaman dan senang dengan keberadaannya di rumah kita, dia merasakan bahwa memang benar kita mencintai dan merindukan kehadirannya di sisi kita, serta dia pun akan senantiasa tersenyum dan riang gembira dengan segala pelayanan yang kita berikan kepadanya.

Terakhir, berat dan sulit dalam hati kita untuk menerimanya ketika dia akan berpisah dengan kita dalam jangka waktu yang lama dan tidak ada jaminan bahwa dia akan bertamu kembali ke rumah kita serta kita pun akan menjamunya dengan sepenuh hati. Dengan ada perasaan seperti ini kita pasti tidak akan menyia-nyiakan keberadaannya di rumah kita dan seoptimal mungkin kita ingin menjadikan dia senang dan betah dengan kunjungannya itu.

Ramadhan, bulan yang agung dan mulia itu sebentar lagi akan hadir menerangi langit kehidupan kita. Benderang cahayanya nampak begitu kemilau dan cerah, tidak ada awan mendung sedikit pun. Mereka yang selama ini diguyur dengan hujan kesusahan, buminya basah dengan maksiat dosa dan sekali-kali ada juga "petir" cobaan dan ujian yang terkadang membuat dia down terjatuh ke dalam jurang pesimis menatap hidup yang sebentar ini, merindukan hadirnya kembali fajar cahaya itu untuk kemudian mampu mengeringkan bumi yang selama ini basah dan memperbaiki atap-atap rumah yang nampak akan roboh karena tiap hari disirami hujan lebat terus.

Ramadhan adalah bulan yang Allah SWT berikan keistimewaan-keistimewaan di dalamnya. Menyimpan mutiara-mutiara indah nan kemilau yang tidak sembarangan orang mampu mendapatkannya. Allah SWT yang Mahamulia menjadikan bulan ini sebagai tempat menabung pahala, mendulang kecintaan dan rahmatNya, bulan cross check-nya kepekaan sosial kita dan tempat mendidik jiwa agar senantiasa sesuai dengan fitrahnya dan sesuai dengan apa yang Allah inginkan.

Mengerahkan segala kemampuan dan menciptakan lingkungan yang kondusif dalam rangka menyambut bulan suci ramadhan, hendaknya segera kita tindak lanjuti karena kita ingin ramadhan kali ini menjadi pijakan utama dalam merubah orientasi hidup serta kondisi akhlak kita selama ini. Beberapa persiapan yang bisa kita coba lakukan dalam menjemput "si tamu agung" itu diantaranya :

1. Persiapan Mental
Segala amal yang kita lakukan bergantung kepada niat, bahkan dalam beberapa amal shalih, niat itu merupakan syarat atau rukun dari amal yang akan dilaksanakan. Secara psikologis, niat atau motivasi sangat membantu amal yang akan dilakukan dan memberikan dampak yang sangat positif. Niat akan memunculkan semangat dan ketahanan seorang muslim dalam mengerjakan ibadah. Oleh karena itulah niat menjadi pilar utama dalam beribadah.
Ramadhan adalah bulan penuh ibadah yang akan dilakukan orang-orang beriman selama sebulan. Oleh karenanya diperlukan kesiapan mental dalam menyongsong berbagai macam bentuk ibadah tersebut, khususnya puasa, bangun malam, Tarawih dan lain-lain. Tanpa persiapan mental yang prima, maka orang-orang beriman akan cepat loyo dalam beribadah atau bahkan meninggalkan sebagian ibadah sama sekali.
Kesiapan mental sangat dibutuhkan pada saat menjelang hari-hari terakhir, karena tarikan keluarga yang ingin belanja mempersiapkan hari raya, pulang kampung, dan sebagainya sangat mempengaruhi umat Islam dalam menunaikan kekhusyuan ibadah Ramadhan. Padahal, kesuksesan ibadah Ramadhan seorang muslim dilihat dari akhirnya. Jika akhir ramadhan diisi dengan i'tikaf dan taqarrub serta ibadah lainnya, maka insya Allah, dia termasuk yang sukses dalam melaksanakan ibadah Ramadhan.
Persiapan mental nantinya akan berimplikasi langsung kepada laju semangat kita di dalam menjalankan ibadah shaum di bulan ramadhan. Mungkin kita pernah merasakan bagaimana semangatnya kita menjalani shalat Tarawih di awal-awal ramadhan, akan tetapi semangat itu sedikit demi sedikit memudar dan itu kita rasakan sendiri. Oleh karena itu mental kita untuk menjalani ibadah-ibadah di bulan ramadhan perlu kita latih sejak dini.

2. Persiapan Ruhiyyah
Menu ibadah yang tersedia di bulan ramadhan sangat banyak dan bervariatif di mulai dari ibadah yang bersifat mahdhah sampai ibadah yang ghairu mahdhah dan ibadah-ibadah yang lainnya. Yang menjadi motivasi utama kita untuk memperbanyak amal ibadah di bulan ramadhan ini ialah karena lipatan pahala yang Allah sediakan di bulan ini berbeda dengan amalan yang biasa kita lakukan di luar bulan ramadhan.
Ia memiliki daya gumpal yang tinggi dan besar, oleh karena itu sayang sekali apabila kita yang selama ini masih lalai dalam menjalankan amalan-amalan yaumiyyah baik itu shalat wajib atau yang sunnat, shaum sunnat, berinfak, membantu orang lain dalam kesusahan dan sebagainya tidak mampu meraup untung yang besar padahal kita dihadapkan dengan kondisi pasar yang sangat strategis dan menguntungkan.
Betapa benar apa yang disabdakan baginda Rasulullah di dalam sebuah haditsnya : "Alangkah miskin dan ruginya mereka yang berjumpa dengan ramadhan tapi tidak mendapatkan ampunan dari Allah SWT." Peringatan baginda Rasul ini tentu harus menjadi cambuk bagi kita agar jauh-jauh hari kita wanti-wanti dan segera menyusun strategi serta langkah konkrit dalam menjalani Ramadhan yang hanya satu bulan itu.
Bentuk konkrit yang harus kita lakukan dalam rangka Persiapan ruhiyah ini ialah memperbanyak kuantitas ibadah kita, seperti memperbanyak membaca Al-Qur'an, shaum sunnah, dzikir, do'a dan lain-lain. Dalam hal mempersiapkan ruhiyah, Rasulullah SAW mencontohkan kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya'ban, sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah RA berkata : "Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan sya'ban." (HR. Muslim).
Bulan sya'ban adalah bulan di mana amal shalih diangkat ke langit. Dari Usamah bin Zaid berkata, saya bertanya : "Wahai Rasulullah, saya tidak melihat engkau puasa di suatu bulan lebih banyak melebihi bulan sya'ban." Rasulullah SAW bersabda : "Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara rajab dan ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa." (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i, dan Ibnu Huzaimah).
Dengan kerendahan hati dan demi mampu melakukan ibadah di bulan ramadhan dengan optimal maka mari kita mulai membiasakan kembali amalan-amalan yang dianjurkan di atas tadi sehingga piala ramadhan dapat kita raih bersama.

3. Persiapan Ilmu yang Cukup
Persiapan wawasan dan membangun opini yang utuh tentang ramadhan dalam benak kita merupakan sebuah kemestian yang tidak menerima daya tawar lagi. Hal ini tiada lain dalam rangka menjadikan semua amalan kita selalu bersumber pada ilmunya dan tidak asal-asalan beramal karena kita sudah faham betul bahwa amal tanpa ilmu hanyalah sia-sia belaka, begitu pula ilmu tanpa amal. Banyak orang yang berpuasa tidak menghasilkan apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. Hal ini dikarenakan puasanya tidak dilandasi dengan ilmu yang cukup.
Seorang yang beramal tanpa ilmu, maka tidak menghasilkan apa-apa kecuali kesia-siaan belaka. Dua orang yang mengamalkan ibadah yang sama tidak otomatis mendapatkan hasil yang sama. Rasulullah SAW menginformasikan ada dua kelompok orang yang sama-sama melakukan ibadah puasa, sedangkan hasilnya yang pertama mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukannya, sementara yang lain cuma mendapatkan lapar dan dahaga.
Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan sepenuh iman dan kesungguhan, maka akan diampunkanlah dosa-dosa yang pernah dilakukan." (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain Rasulullah bersabda : "Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga." (HR. An-Nasa'i dan Ibnu Majah).
Buku-buku Fiqhussiyam (yang berhubungan dengan shaum) hendaknya mulai dikaji kembali untuk mematangkan pengetahuan yang selama ini kita ketahui dan menggali informasi tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan shaum dan sebagainya. Hemat saya, kurang pas apabila kita mengkaji fiqhussiyam di bulan ramadhan karena bulan ini adalah bulannya praktek bukan bulan teori, maka apa salahnya dan cocok sekali apabila kita melakukan pengkajian buku tersebut jauh-jauh hari sebelum ramadhan tiba.

4. Persiapan Fisik dan Materi
Fisik dan materi sangat menopang lancarnya ibadah di bulan ramadhan. Seorang muslim tidak akan mampu berbuat maksimal dalam berpuasa jika fisiknya sakit. Begitu juga ia tidak mampu berinfak jika ia tidak memiliki uang. Oleh karena itu, mereka dituntut untuk menjaga kesehatan fisik, kebersihan rumah, masjid, dan lingkungan. Rasulullah justru mencontohkan kepada umat agar selama berpuasa tetap memperhatikan kesehatan. Hal ini terlihat dari beberapa peristiwa di bawah ini :
# Menyikat gigi dengan siwak (HR. Bukhari dan Abu Daud).
# Berobat dengan berbekam (Al-Hijamah) seperti yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
# Memperhatikan penampilan, seperti pernah diwasiatkan Rasulullah SAW kepada sahabat Abdullah ibnu Mas'ud RA, agar memulai puasa dengan penampilan baik dan tidak dengan wajah yang cemberut (HR. Al-Haitsami).
Sarana penunjang lain yang harus disiapkan adalah materi yang halal, untuk bekal ibadah Ramadhan. Idealnya seorang muslim telah menabung selama 11 bulan sebagai bekal ibadah Ramadhan. Sehingga ketika datang Ramadhan, dia dapat beribadah secara khusyu', dan tidak berlebihan atau ngotot dalam mencari harta atau kegiatan lain yang mengganggu kekhusyuan ibadah Ramadhan.
Para pedagang dan pebisnis yang ingin mendapatkan untung besar tentu memerlukan modal yang besar pula. Seorang atlet lari seratus kilometer yang berambisi ingin menjadi juara pasti akan melakukan latihan yang ekstra dan mengkonsumsi makanan yang bergizi biar badannya kuat. Begitu juga sebuah tim sepakbola yang bersaing memperebutkan peringkat pertama akan mati-matian berjuang memasukan bola ke gawang lawan dan menyusun strategi yang jitu supaya mudah mendapatkan gol.

Lembaran teori ini hampa adanya dan tidak akan memberikan daya bias yang kuat apabila kita hanya membacanya sekilas saja tanpa langsung berusaha ditransformasikan ke dalam gerak amaliah kita. Mengapa kita masih ragu untuk menjabarkan hal-hal tersebut padahal protipe muslim sejati itu di antaranya selalu mampu menyelaraskan ranah teori dan praktek.

Dengan suka cita mari kita jemput Ramadhan yang dirindu itu dengan segera beberesih (membersihkan diri) dan mulai menyingsingkan lengan baju melakukan persiapan-persiapan yang telah dianjurkan oleh Islam dalam menyambut bulan ramadhan, kemudian dalam waktu yang sama mengatur stamina waktu dan tenaga supaya ketika menjalani shaum Ramadhan kita dalam keadaan fit.

Sebuah kerugian besar apabila ramadhan yang hanya setahun sekali itu kita sikapi dengan biasa-biasa saja tanpa mampu menyerap nilai-nilai tarbawiyah yang ada di dalamnya untuk kemudian kita jadikan sebagai bekal dan amunisi dalam menjalani aktifitas sebelas bulan ke depan sebelum kita masuk lagi ke ramadhan tahun berikutnya.

"Ya Allah... Berkahilah kami di bulan rajab dan sya'ban, dan sampaikanlah kami pada bulan ramadhan. Aamiin..." sumber-sumber : http//kotasantri.com,www.nurulfajri.com

PUASA dan Zakat Fitrah Pembersih Jiwa

Dalam hitungan hari, suasana ramadhan sudah semakin terasa dekat. Beberapa kawan yang sering on line baik di YM atau di Blog serta web memasang hitungan mundur waktu yang ditunggu jutaan umat muslim di dunia. Sengaja atau tidak sengaja angka yang mereka pasang membuat saya semakin klik saja dengan romansa ramadhan.

Apalagi dari kawan-kawan radio dan media cetak selalu mengabarkan ke saya untuk menyusun rancangan program ramadhan. Seperti Bang Ujo Waco dari Real FM Palembang, susunan acara ramadhan itu begitu makin mendekatkan kami dengan ramadhan * seakan-akan besok ramadhan* kerna detail acara sudah menjadi agenda kerja. Dari Surabaya mengabarkan proposal uuntuk kegiatan ramadhan sudah selesai dilakukan . Ada lagi dari tim alhanif center yang siap dengan PesOnA (pesantren on action) dan serangkain kegiatan ramadhan . Misalnya DOM ( Dakwah On Mall) serta kegiatan lainnya. Juga kawan-kawan dari Bulukumba,Lampung, Makassar Palu dan Papua serta daerah yang lain. Selalu saya sampaikan semua harus disegerakan dan kepastian. * penyokong acara dan sponshorship,dll* :)

Detail tentang PUASA .

Puasa dan Zakat Fitrah
Ibarat dua sisi mata uang antara Puasa dan Zakat fitrah itu ga bisa dipisahkan. Asala muasal zakat fitrah ialah dari zakat fitrah. Istilah zakat fitrah, sudah jamak diketahui sebagai penutup rangkaian ibadah bulan Ramadhan. Bisa jadi sudah banyak pembahasan seputar hal ini yang tersuguh untuk kaum muslimin. Namun tidak ada salahnya jika diulas kembali dengan dilengkapi dalil-dalilnya.

Telah menjadi kewajiban atas kaum muslimin untuk mengetahui hukum-hukum seputar zakat fitrah. Ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan atas mereka untuk menunaikannya usai melakukan kewajiban puasa Ramadhan. Tanpa mempelajari hukum-hukumnya, maka pelaksanaan syariat ini tidak akan sempurna. Sebaliknya, dengan mempelajarinya maka akan sempurna realisasi dari syariat tersebut.

Hikmah Zakat Fitrah
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (Hasan, HR. Abu Dawud Kitabul Zakat Bab. Zakatul Fitr: 17 no. 1609 Ibnu Majah: 2/395 K. Zakat Bab Shadaqah Fitri: 21 no: 1827 dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)

Mengapa disebut Zakat Fitrah?
Sebutan yang populer di kalangan masyarakat kita adalah zakat fitrah. Mengapa demikian? Karena maksud dari zakat ini adalah zakat jiwa, diambil dari kata fitrah, yaitu asal-usul penciptaan jiwa (manusia) sehingga wajib atas setiap jiwa (Fathul Bari, 3/367). Semakna dengan itu Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi menjelaskan bahwa ucapan para ulama “wajib fitrah” maksudnya wajib zakat fitrah. (Al-Mishbahul Munir: 476)

Namun yang lebih populer di kalangan para ulama –wallahu a’lam– disebut زَكَاةُ الْفِطْرِ zakat fithri atau صَدَقَةُ الْفِطْرِ shadaqah fithri. Kata Fithri di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan Ramadhan. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar Al-’Asqalani menerangkan bahwa sebutan yang kedua ini lebih jelas jika merujuk pada sebab musababnya dan pada sebagian penyebutannya dalam sebagian riwayat. (Lihat Fathul Bari, 3/367)

Hukum Zakat Fitrah
Pendapat yang terkuat, zakat fitrah hukumnya wajib. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, di antara mereka adalah Abul Aliyah, Atha’ dan Ibnu Sirin, sebagaimana disebutkan Al-Imam Al-Bukhari. Bahkan Ibnul Mundzir telah menukil ijma’ atas wajibnya fitrah, walaupun tidak benar jika dikatakan ijma’. Namun, ini cukup menunjukkan bahwa mayoritas para ulama berpandangan wajibnya zakat fitrah.
Dasar mereka adalah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki, wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Fardhu Shadaqatul Fithri 3/367, no. 1503 dan ini lafadznya. Diriwayatkan juga oleh Muslim)
Dalam lafadz Al-Bukhari yang lain:
أمر النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ
“Nabi memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Al-Bukhari no. 1507)
Dari dua lafadz hadits tersebut nampak jelas bagi kita bahwa Nabi menfardhukan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah wajib.

Dalam hal ini, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Adapula yang berpendapat, hukumnya adalah hanya sebuah amal kebaikan, yang dahulu diwajibkan namun kemudian kewajiban itu dihapus. Pendapat ini lemah karena hadits yang mereka pakai sebagai dasar lemah menurut Ibnu Hajar. Sebabnya, dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula pendapat yang sebelumnya juga lemah. (Lihat At-Tamhid, 14/321; Fathul Bari, 3/368, dan Rahmatul Ummah fikhtilafil A`immah hal. 82)

Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah?
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan dalam hadits sebelumnya bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki ataupun perempuan, dan orang merdeka maupun budak hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan: “Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang memberinya nafkah, ini merupakan pendapat jumhur ulama.” (Al-Fath, 3/369; lihat At-Tamhid, 14/326-328, 335-336)
Nafi’ mengatakan:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ
“Dahulu Ibnu ‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia dulu benar-benar menunaikan zakat anakku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77, no. 1511, Al-Fath, 3/375)
Demikian pula budak hamba sahaya diwakili oleh tuannya. (Al-Fath, 3/369)

Apakah selain Muslim terkena Kewajiban Zakat?
Sebagai contoh seorang anak yang kafir, apakah ayahnya (yang muslim) berkewajiban mengeluarkan zakatnya? Jawabnya: tidak. Karena Nabi memberikan catatan di akhir hadits bahwa kewajiban itu berlaku bagi kalangan muslimin (dari kalangan muslimin). Walaupun dalam hal ini ada pula yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun pendapat tersebut tidak kuat, karena tidak sesuai dengan dzahir hadits Nabi.

Penulis: Al Ustadz Qomar ZA, Lc dari salafy.or.id